Wednesday, 3 December 2014

Pemilik Kemanusiaan

Sering kita mendengar pertanyaan-pertanyaan sinis dari mereka yang sedih dan marah saat Israel menyerbu bangsa Palestina tanpa ampun, atau ketika bala tentara Amerika Serikat dan sekutunya menyiksa secara sadis orang-orang Islam. “Mana aktivis-aktivis atau pejuang-pejuang hak asasi manusia ketika bangsa Palestina dibantai Israel? Kenapa mereka diam? Kenapa mereka tidak mengutuk pelanggaran HAM berat itu? Mana suara lantang mereka? Kenapa tidak garang seperti mengomentari pelanggaran HAM di negaranya?”
Pertanyaan-pertanyaan itu dapat kita tanggapi dengan beberapa pertanyaan pula: memangnya kemanusiaan itu hanya milik para aktivis? Apakah pembelaan atas kemanusiaan itu hanya dibebankan kepada segelintir orang saja? Apakah orang yang tidak bergiat di lembaga promotor kemanusiaan bukan pembela kemanusiaan? Kenapa kau membuat kemanusiaan itu hanya dimiliki sekelompok manusia saja?
Ketika sekadar kecaman terhadap pembantaian manusia tidak mampu menyumbat tragedi itu, dapatkah sindiran terhadap pekerja kemanusiaan tidak membawa dampak apa-apa bagi penyetopan konflik? Pertanyaan-pertanyaan di awal tadi adalah ekspresi kemarahan yang tidak menyembuhkan luka. Seharusnya kita mengapresiasi mereka yang selama ini sudah bertindak semampu mungkin untuk membela hak saudara-saudara di sekitarnya, bukan memberi ocehan tak penting. Dapatlah dimaklumi kalau mereka jenuh melihat (bukan melakukan) kerja-kerja kemanusiaan yang berskala global, tetapi tidak membuat perdamaian dunia menjadi permanen.
Pengaktif Kemanusiaan
Semua orang akan marah kalau disebut bukan manusia atau manusia yang tak manusiawi, meski sebenarnya mereka yang marah itu kerap mengedepankan sisi animalitasnya setiap menghadapi perselisihan. Orang kadang tak sadar ia mematikan rasa kemanusiaannya saat membela mati-matian pendapat atau keyakinan individu atau komunitasnya. Atas nama pertahanan diri, penyiksaan dianggap mendapat pembenaran.
Sisi kemanusiaan dimiliki setiap manusia, tetapi tidak semua manusia mampu mengaktifkannya sehingga animalitaslah yang menjadi tuntunan dalam menjalankan kehidupan. Bertindak kasar pada yang berseberangan kemudian menjadi kebutuhan. Di pihak lain, ada mereka yang mampu membangun kerukunan dalam hidup bersama. Mereka itulah “pengaktif kemanusiaan”. Label itu bukan milik orang-orang yang bekerja--entah tanpa bayaran atau menerima gaji setiap bulan--di organisasi pembela hak asasi manusia: itu adalah predikat untuk semua manusia yang selalu mengedepankan rasa kemanusiaannya.
Pekerja kemanusiaan bisa jadi sebuah profesi, tetapi pengaktif kemanusiaan bukan. Semua orang yang mampu bersikap baik pada diri sendiri dan semua makhluk hidup, apa pun profesinya, adalah pengaktif kemanusiaan. Dan, saat ini dunia sebenarnya lebih memerlukan para pengaktif kemanusiaan, sebab pihak inilah yang dapat memberi kontribusi besar bagi perdamaian dunia. Sementara pekerja kemanusiaan tindakannya lebih kepada menolong orang-orang yang tinggal di wilayah krisis kemanusiaan dengan memberi bantuan-bantuan materiil (tenda, makanan, atau selimut) dan nonfisik (motivasi hidup, ajakan berbaik hati, atau pengobatan psikologis serta hiburan bagi anak-anak untuk mereduksi trauma).
Dalam konteks kemanusiaan, para pengaktif kemanusiaan lebih penting kehadirannya karena mereka adalah individu-individu yang mampu menolong diri sendiri agar tidak terjebak dalam perilaku yang mencandui kebrutalan. Ketika mampu menyelamatkan diri sendiri dari nafsu untuk bertindak keji, pada saat bersamaan Anda telah menyelamatkan orang lain. Jadi upaya individu dalam mengedepankan kebaikan akan berpengaruh positif pada lingkungan. Aktivasi kemanusiaan mencegah kekerasan, kerja-kerja kemanusiaan mengobati efek kekerasan. Para praktisi kesehatan selalu bilang mencegah lebih baik daripada mengobati.
Masalah bantuan kemanusiaan juga perlu dilihat secara luas. Apakah bantuan kemanusiaan yang paling berharga bagi orang korban konflik? Pekerja kemanusiaan wajib menjawab,“Membantu mereka yang pernah dianiaya manusia-manusia biadab agar mampu membayangkan masa depan dunia tanpa pembantaian."
Perdamaian dan Pertahanan
Mungkin selama ini banyak orang berpandangan bahwa bantuan kemanusiaan terpenting adalah hal-hal berupa kebendaan saja. Bagi para korban kekerasan konflik, bukanlah itu saja yang dibutuhkan. Bantuan kemanusiaan terpenting adalah kompulsi untuk menjadi manusia yang manusiawi. Sebab mengapa bantuan seperti itu penting adalah karena orang yang dilanggar kemanusiaannya berpotensi pula menjadi pencedera kemanusiaan. Dendam buta selalu dimiliki oleh mereka yang tertekan atau amarahnya memuncak.
Apakah bantuan seperti itu akan berhasil? Mungkin saja, dengan syarat tak ada lagi manusia yang ingin menjadi penguasa dunia. Afghanistan didaulat sebagai negara paling tak ramah bagi pekerja kemanusiaan. Sementara Amerika perlu didaulat sebagai negara paling tak ramah bagi kemanusiaan, sebab memiliki keinginan besar untuk menguasai dunia secara absolut.
Kekuasaan akan terus dilekati definisi dan praksis klasiknya, yakni kekerasan. Di mana ada kekuasaan, di situ ada kekerasan. Sulit rasanya membayangkan akan ada kekuasaan yang berniat meniadakan kekerasan sehingga muncul pengertian: di mana ada kekuasaan, di situ kekerasan akan padam. Orang-orang di masa lalu pun berpendapat serupa. Hingga nanti di masa depan akan jadi seperti itu seterusnya. Akan terus ada yang berhasrat menguasai ketaatan pihak lain, membuat manusia lain lemah. Tinju-meninju antara kerukunan dan kekacauan akan terus berlangsung, tanpa batasan ronde.
Disebabkan keyakinan tersebut, tentu bantuan kemanusiaan pun mesti menyertakan saling berbagi tentang cara bertahan dari serangan. Orang-orang yang dianiaya perlu diajari cara menghadapi dan melumpuhkan serangan musuh. Langkah ini bukan untuk keberhasilan balas dendam, tetapi lebih kepada pertahanan diri. Bantuan kemanusiaan tidak harus membuat orang dimabuk moral sehingga melupakan pembangunan kekuatan untuk pertahanan diri yang berakibat pada semakin merajalelanya musuh.
Akhirnya, kita pun akan bertanya: apakah yang natural dari manusia, humanitasnya atau animalitasnya? Jangan-jangan, seperti kata seorang budayawan, kemanusiaan adalah hal yang bertolak belakang dari kita, manusia. Jangan-jangan dunia di mana setiap orang adalah manusia yang manusiawi itu semata fiksi. Jangan-jangan kerukunan global itu angan-angan.
Yang masih saya yakini: yang mampu memanusiawikan diri dan orang lain hanya beberapa manusia saja. Meski sesungguhnya keyakinan tersebut begitu mengerikan. Coba bayangkan! Manusia pasti akan merinding, sedangkan binatang tidak.

No comments:

Post a Comment