Wednesday, 3 December 2014

Guru Pemimpin

Guru pandai mengajar, itu biasa. Guru bisa jadi sosok pemimpin bagi murid, itu baru luar biasa. Karena memimpin amat berbeda dengan mengajar. Menguasai konten materi ajar dan terampil cara mengomunikasikannya, dua syarat cukup jadi pengajar. Lantas, apa syarat jadi guru pemimpin? Leadership. Guru tunjukkan sifat-sifat kepemimpinan dan konsisten memberikan inspirasi keteladanan.
Kepemimpinan bukan terdiri atas kecakapan yang dimiliki. Tapi, kepemimpinan merupakan kumpulan dari nilai-nilai karakter. Kepemimpinan lebih butuh sikap moral yang baik ketimbang kemampuan intelektual dan cara mengajar. Guru pengajar banyak. Tapi berapa banyak guru pemimpin?
Goode-Vick (1985) mengidentifikasi empat hal yang membedakan profil guru sebagai pengajar dan pemimpin. Pertama, pengajar dan pemimpin punya sisi dan peran berbeda. Tugas pengajar mentransfer pengetahuan agar murid menguasai pengetahuan dan keterampilan teknis. Tapi sebagai pemimpin, tugas guru memperbaiki karakter murid. Pengajar bisa cetak murid pintar. Tapi di tangan pemimpin, mereka akan dididik agar kepintarannya jadi manfaat. Maka, lahirlah murid pintar dan terdidik.
Kedua, guru pengajar berfokus pada prestasi murid. Seberapa baik para murid menunjukkan performa akademik di sekolah, itulah fokus perhatian utama guru pengajar. Sebaliknya, guru pemimpin sangat telaten mendidik sikap hidup dan menanamkan nilai-nilai karakter dalam keseharian. Hal penting nan berharga bagi masa depan para murid. Meraih prestasi adalah satu hal. Tapi mampu menunjukkan konsistensi sikap baik (Misal, jujur, disiplin, tak pernah menyerah, ksatria, dan sebagainya) dalam merengkuh prestasi, idealnya itulah buah dari hasil pendidikan yang baik.
Ketiga, guru pengajar memaknai nilai akademik jadi ukuran prestasi terhebat. Yang kebablasan, nilai akademik pun dijadikan Tuhan baru. Segala cara dihalalkan untuk rengkuh nilai akademik terbaik. Tak usah heran, nilai murid direkayasa untuk menyelamatkan citra dan reputasi segelintir oknum. Hal yang tak mungkin dilakukan guru pemimpin. Karena mereka meyakini nilai akademik bukan prediktor terbaik masa depan murid. Nilai akademik tak bisa merepresentasikan pribadi murid yang autentik. Jika nilai buruk bisa memberikan informasi berharga terkait sisi unik murid yang sesungguhnya, mengapa pula harus dimanipulasi? Mengapa tak bangkitkan kesadaran murid, titik terlemah itulah yang justru akan menjadi kekuatan baru andai dibenahi dengan penuh kesungguhan.
Keempat, guru pengajar selalu menggunakan kekuasaan dan otoritas mereka dalam mengajari murid-murid. Guru jadi subjek, murid jadi objek. Komunikasi hanya satu arah dari guru ke murid. Murid bisa patuh karena takut. Tapi bukan karena karisma dan wibawa sang guru. Jangan-jangan, setelah tak sandang jabatan guru, tak ada lagi rasa hormat yang tersisa dari murid. Itulah sisi lain dari potret seorang pengajar.
Beda sekali dengan guru pemimpin. Kredibilitas dan integritas mereka mengundang respek dari para murid. Murid segan, tapi tak takut. Tak takut itu jadi sikap produktif. Karena murid punya keberanian memberikan koreksi jika gurunya keliru. Maka, berapa banyak guru yang siap dikritik murid-muridnya? Karena bila dikritik, harga diri guru tak akan hancur. Itulah sisi manusiawi seorang guru yang tak luput dari kesalahan.
Tugas pertama seorang guru adalah menentukan sikap. Mau jadi pengajar saja, boleh. Memilih opsi jadi guru pemimpin, itu lebih baik. Guru mampu perankan diri menjadi pengajar dan pemimpin sama baiknya, bukankah ini jadi anugerah terindah bagi para murid. Guru bisa wariskan semua ilmunya, itulah pengajar. Lantas, apa warisan terakhir seorang guru pemimpin? Inspirasi keteladanan. Guru adalah pemimpin. Maka, konsistenlah memberikan keteladanan.

No comments:

Post a Comment